Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores
Foto: Enu Molas -

Enumolas.com – Mengenal minuman tradisional Flores yang terbuat dari nira yakni Moke Jantan dan Betina, Dicampur Rasanya Lebih Enak

Moke merupakan minuman tradisional yang mengandung alkohol dari Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Baca: Belajar Menenun di Kampung Ngegedhawe, Nagekeo

Minuman beralkohol ini, dibuat dari nira, hasil irisan buah atau tangkai bunga pohon lontar dan ada pula dibuat dari nira pohon enau.

Melihat Pembuatan Moke, Minuman Khas Flores

Pembuatan nira menjadi moke melalui proses penyulingan secara tradisional dan menggunakan peralatan tradisional pula.

Baca: Ritual Adat Wagal Dalam Pernikahan Warga Manggarai

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores

Yakobus Idong, salah satu pengrajin Moke di Ilegetang, Kelurahan Beru, Kabupaten Sikka, menerangkan, ada dua jenis pohon Lontar yang tumbuh di daerah Ilegetang.

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores
Foto: Enu Molas –

“Ada pohon Lontar jantan dan ada pohon Lontar yang Betina,” kata Yakobus saat diwawancarai di Sorong Tua miliknya di Ilegetang, Sabtu 30 Juli 2022.

Bagi pengrajin moke seperti Yakobus, Sorong Tua atau pondok pembuatan moke adalah rumah kedua. Pasalnya mereka menghabiskan banyak waktu di Sorong Tua.

Sorong Tua biasanya dibangun di kebun, tidak jauh dari pohon -pohon Lontar yang mereka sadap.

Baca: Jakarta Pensiun Jadi IKN, Dampak Penggunaan Air Tanah

Selain sebagai tempat pembuatan Moke, pondok sederhana beratap daun lontar ini juga menjadi tempat mereka beternak ayam.

Kembali soal pohon Lontar, Yakobus menjelaskan, pohon Lontar yang jantan adalah pohon Lontar yang menghasilkan tangkai bunga lontar. Panjang tangakai bunga lontar bisa mencapai satu meter.

Sedangkan, pohon lontar betina menghasilkan buah lontar berbentuk bulat. Daging buah lontar yang masih muda bisa dimakan. Teksturnya lembut, lunak dan berair. Sensasi rasanya segar.

Menurut Yakobus, penyebutan lontar jantan dan betina ini diajarkan turun -temurun oleh nenek moyangnya untuk membedakan Lontar yang menghasilkan tangkai bunga dan lontar yang menghasilkan buah berbentuk bulat.

Dalam bahasa setempat lontar jantan disebut tua lameng sedangkan lontar betina disebut tua waing.

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores
Foto: Enu Molas –

Yakobus menjelaskan, tangkai bunga lontar maupun buah lontar sama – sama bisa disadap dan niranya bisa dibuat jadi moke.
Kendati demikian, lanjut Yakobus, umumnya para penikmat atau pembeli moke jarang bertanya atau tidak bisa membedakan, mana moke dari lontar jantan dan mana yang dari lontar betina.

Menurutnya, secara kasat mata, warna moke jantan dan betina memang tidak berbeda. Begitu cita rasa moke dari lontar jantan maupun betina hampir sama, sehingga sulit dibedakan.

Namun, Yakobus mengatakan, moke dari lontar jantan dan betina jika dicampur maka akan memberikan cita rasa yang berbeda.
“Kalau dicampur, rasanya lebih enak,” kata kakek yang sudah 22 tahun bergelut menjadi pengrajin moke.

Kendati cita rasanya berbeda, Yakobus menjual mokenya dengan harga yang sama, yakni Rp. 15.000 per botol berukuran sedang.
Dia menguraikan, peralatan untuk membuat moke antara lain, bambu, periuk tanah atau drum dan serat buah Lontar.

Baca: Penyeludupan Puluhan Ekor Sapi dari Manggarai ke NTB

Semakin Panjang Semakin Enak

Menurut Yakobus, peralatan yang digunakan untuk membuat moke, juga sangat berpengaruh pada cita rasa moke.
Dia mengatakan, wadah memasak moke paling bagus adalah dari periuk tanah, karena akan menghasilkan moke yang lebih enak.

Namun wadah ini sudah mulai jarang digunakan, karena kapasitas atau daya tampung periuk tanah yang dihasilkan oleh pengrajin periuk tanah sangat terbatas.
“Jadi kami sudah mulai menggunakan drum untuk masak moke. Bisa juga pakai periuk tanah tapi itu masak sedikit -sedikit,” ujarnya.

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores
Foto: Enu Molas –

Dia menguraikannya wadah periuk tanah atau drum diletakkan pada sebuah tungku api. Mulut wadah ini dihubungkan dengan bambu tegak lurus dengan panjang kurang lebih tiga meter.

Selanjutnya, pada ujung bambu, dihubungkan horizontal dengan bambu lain yang panjang kurang lebih 10 hingga 12 Meter.
Pada setiap persambungan rangkaian bambu dan mulut drum, direkatkan dengan serat buah lontar. Ini bertujuan agar tidak terjadi kebocoran.

Perlu diingat bahwa, sebelum bambu -bambu dirangkai, sekat antara ruas bambu mesti dihancurkan terlebih dahulu menggunakan pipa atau kayu.

Selanjutnya pada ujung rangkaian bambu ini, diruncing sedemikan rupa sehingga tetesan dari nira yang menguap saat dimasak bisa jatuh dengan tepat pada wadah yang sudah disediakan. Tetesan inilah yang disebut moke.

Kata Yakobus, semakin panjang rangkaian bambu penyulingan maka moke yang dihasilkan semakin enak. Cita rasanya khas.
Yokobus sendiri sudah 22 tahun menjadi pengrajin moke. Yakobus dibantu oleh istrinya. Setiap pagi dan sore Yakobus menyadap lontar, sementara istinya memasak moke di Sorong Tua.

Setiap hari pasangan suami-istri yang sudah mulai renta ini bisa menghasilkan moke 55 botol. Hasil penjualan moke untuk membiayai kebutuhan hidupnya keluarga sehari -hari.

Baca: Gereja Sesat Hadir Menghantui Masyarakat Manggarai

Mengapa Jadi Pengrajin Moke

Yakobus menuturkan, sejak kecil dirinya sudah belajar memanjat pohon Lontar dan menyadap buah atau tangkai buah Lontar.
Bagi Yakobus, moke merupakan warisan budaya leluhur, sebagai simbol persatuan, persaudaraan dan simbol adat. Dalam beragam ritual atau upacara adat pasti ada moke.

Selain itu, moke menopang perekonomian. Dari hasil penjualan moke, Yakobus bisa menafkahi keluarganya. Tidak heran, di usia yang tidak muda lagi Yakobus masih tetap tekun menyadap lontar.

Nira Menjadi Moke Minuman Tradisional Khas Flores
Foto: Enu Molas –

Yakobus mewariskan keterampilan memanjat dan menyadap lontar kepada anak dan cucunya. Salah satu cucunya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, bahkan sudah bisa membantunya memanjat pohon lontar untuk mengambil nira.

Yakobus mewariskan keterampilan itu bukan berarti dia memaksa anak atau cucunya harusnya mengikut jejaknya, menjadi pengrajin moke.

Kalaupun anak atau cucunya kelak tidak menjadi pengrajin moke, setidaknya mereka bisa mengetahui dan menghargai warisan leluhur.

Hal lain, tidak sedikit orangtua yang bisa menyekolahkan anak – anak mereka, sampai ke jenjang perguruan tinggi dan bahkan menjadi orang sukses dari hasil usaha moke.

Yakobus mengingatkan, keberadaan moke mesti ditempatkan pada konteks nilainya, bahwa moke sebagai simbol persatuan, persaudaraan dan simbol adat.

Konsumsi moke secara berlebihan dan tidak terkendali, itu akibat dari orang tidak memahami warisan budaya leluhur dan tidak memahami keberadaan moke secara tepat.

Artikel SebelumnyaBelajar Menenun di Kampung Ngegedhawe, Nagekeo
Artikel BerikutnyaPesona Indahnya Sunset dan Siluet di Nusa Kutu Sikka